Kisah

Kondisi Sosial Masyarakat Arab Masa Jahiliyah

kondisi sosial arab jahiliyah

Membaca Sirah Nabawiyah tak lengkap rasanya sebelum kita mengenal kondisi bangsa arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad untuk mendakwahkan Islam. Kondisi bangsa arab di masa jahiliyah sungguh memprihatinkan, terutama terkait kondisi sosial kemasyarakatannya.

Di kalangan bangsa Arab terdapat lapisan masyarakat yang beragam dengan kondisi berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan istrinya di lapisan kaum bangsawan demikian mengalami kemajuan, seorang istri mempunyai porsi yang sangat besar dalam kebebasan berkehendak dan mengambil kebijakan.

Wanita selalu dihormati dan dijaga, tidak jarang pedang harus terhunus dan darah tertumpah karenanya. Seorang laki-laki yang ingin dipuji di mata orang Arab karena dia memiliki kedudukan tinggi berupa kemurahan hati dan keberanian, maka kebanyakan waktunya hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Seorang wanita dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, jika dia suka, namun juga dapat menyulut api peperangan di antara mereka.

Meskipun demikian, tanpa dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan pengambil keputusan. Hubungan antara laki-laki dan wanita melalui proses akad nikah adalah di bawah pengawasan para wali wanita. Seorang wanita tidak memiliki hak untuk melakukan sesuatu tanpa seizin mereka.

Demikianlah kondisi kaum bangsawan, sementara pada lapisan masyarakat lainnya terdapat jenis lain dari percampur-bauran antara lelaki dan wanita. Tidak kami dapatkan ungkapan yang lebih tepat untuk hal itu daripada pelacuran, pergaulan bebas, pertumpahan darah dan perbuatan keji.

Imam al-Bukhari dan periwayat hadits lainnya meriwayatkan dari Aisyah bahwa pernikahan pada masa jahiliyah terdiri dari empat macam:

Pertama, Pernikahan ala sekarang. Caranya, seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain untuk melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anak perempuannya, lalu dia menentukan maharnya, kemudian menikahkannya.

Kedua, seorang laki-laki berkata kepada istrinya manakala ia sudah suci dari haidnya, “Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya,” kemudian setelah itu, istrinya ini diasingkan oleh suaminya dan tidak disentuh selamanya hingga kelihatan tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila telah kelihatan tanda kehamilannya, maka terserah suaminya, jika masih berselera kepadanya maka dia menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah al-Istibdha’.

Ketiga, sekelompok laki-laki yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan serta telah berlalu beberapa malam dari kelahiran, dia mengutus seseorang kepada mereka, maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul di sisinya, lalu si wanita ini berkata kepada mereka, “Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan. Dia ini adalah anakmu wahai fulan! ” Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anak tersebut mengambil nasabnya.

Keempat, laki-laki dalam jumlah banyak mendatangi seorang wanita sementara dia tidak menolak siapa pun yang mendatanginya tersebut. Mereka ini adalah para pelacur. Yang mereka lakukan adalah, menancapkan bendera-bendera di pintu-pintu rumah mereka yang menjadi simbol. Siapa saja yang menginginkan mereka, maka dia bisa masuk. jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul kepadanya, lalu mengundang para ahli pelacak jejak (al-Qafah), kemudian mereka menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka pandang cocok, lantas orang ini mengakuinya dan dipanggillah dia sebagai anak. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.

Mereka suka mengadakan pertemuan-pertemuan antara kaum laki-laki dan wanita yang diadakan di bawah kilauan mata pedang dan hulu-hulu tombak. Juga, pemenang dalam perang antar suku dapat menyandera wanita-wanita dari suku yang kalah lalu berbuat sesukanya terhadap mereka. Akan tetapi, anak-anak yang lahir dari ibu seperti ini akan mendapatkan aib sepanjang hidup mereka.

Kaum jahiliyah juga dikenal suka beristri banyak (poligami) tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara sekaligus, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau ditinggal. Hak menalak merupakan wewenang kaum laki-laki dan tidak terbatas pada jumlah tertentu. Perbuatan zina sudah marak pada setiap lapisan masyarakat.

Kita tidak dapat mengkhususkannya kepada satu lapisan tanpa melibatkan lapisan yang lainnya atau satu kelompok tanpa melibatkan kelompok yang lain. Hanya saja masih ada sekelompok laki-laki dan wanita yang keagungan jiwanya menolak keterjerumusan dalam perbuatan nista tersebut. Wanita-wanita merdeka kondisinya lebih baik ketimbang kondisi para budak wanita. Mereka (budak wanita) mengalami nasib yang amat buruk. Tampaknya, mayoritas kaum jahiliyah tidak merasakan keterjerumusan dalam perbuatan nista semacam itu sebagai suatu aib bagi mereka.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari bapakya, dari kakeknya, dia berkata, “Seorang laki-laki berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah anakku. Aku telah berzina dengan seorang budak wanita pada masa jahiliyah. Rasulullah kemudian bersabda, ‘Tidak ada klaim (nasab kepada selain bapaknya) dalam Islam. Tradisi jahiliyah telah berlalu. Seorang anak hanya dinasabkan kepada pemilik kasur (yakni suami) jika ia hasil pernikahan yang sah, sedangkan pezina hanya menuai kekecewaan (dan tidak berhak atas anak tersebut)’. (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Begitu juga dalam hal ini, terdapat kisah yang amat terkenal mengenai perseteruan antara Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abd bin Zam’ah dalam mempersoalkan nasab anak dari budak wanita milik Zam’ah, yang bernama Abdurrahman bin Zam’ah.

Sedangkan hubungan antara seorang bapak dengan anak-anak-nya, amat berbeda-beda; di antara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:

Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami
Bagai buah hati, berjalan melenggang di atas bumi.

Di antara mereka, ada pula yang mengubur hidup-hidup anak-anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya, demikian juga membunuh anak-anak lantaran takut menjadi fakir dan melarat. Allah berfirman,

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemis. kinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” (Al-An’am: 151).

Dan dalam Firman-Nya yang lain,

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. la menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59).

Akan tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang termaktub dalam avat-ayat di atas merupakan bagian dari moral yang sudah menvebar dan marak terjadi, sebab mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki guna membentengi diri mereka dari serangan musuh.

Sedangkan hubungan seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya demikian rapat dan kuat. Hidup dan mati mereka siap dikorbankan demi fanatisme terhadap suku. Semangat bersatu telah terbiasa dijalankan antar sesama suku dan diperkokoh lagi dengan adanya fanatisme tersebut. Bahkan pilar sistem kemasyarakatan adalah fanatisme ras dan rahim (hubungan ikatan kekerabatan).

Mereka hidup di atas pepatah yang berbunyi, “Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi” dalam maknanya yang hakiki alias bukan makna yang telah direvisi oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zhalim dengan maksud mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan seringkali mengakibatkan terjadinya perang antar suku yang masih memiliki hubungan satu garis bapak teratas sebagaimana yang kita lihat terjadi antara suku Aus dan Khazraj, Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.

Adapun hubungan antar suku yang berbeda benar-benar tercerai-berai. Mereka menggunakan kekuatan yang ada untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja terkadang, rasa sungkan serta takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasaan yang berpadu antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi tajam dan dahsyatnya perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu, loyalitas, persekutuan dan afiliasi malah menyebabkan bersatunya antar suku yang berbeda. Al-Ashur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang) menjadi rahmat dan penolong bagi kehidupan mereka dan kebutuhan hidup mereka.

Singkat kata, kondisi sosial mereka berada dalam sangkar kelemahan dan kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela di mana-mana sementara kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang ternak. Wanita diperjualbelikan bahkan terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara pemerintahan yang ada, perhatian utamanya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.

Uraian kondisi sosial bangsa arab pada masa jahiliyah merupakan kutipan dari buku sirah nabawiyah ar rahiqul makhtum karya Syaikh al Mubarakfuri yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sirah Nabawiyah perjalanan hidup Rasul yang Agung dari Kelahiran hingga detik-detik terakhir. Buku yang sangat bagus untuk dibaca setiap muslim yang ingin mengenal nabi Muhammad alaihi shalatu wassalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *