Kisah

Kisah Kedermawanan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu

kedermawanan utsman bin affan

Jika kita ditanya siapakah Sahabat Nabi yang kaya raya dan dermawan, maka umumnya ingatan kita secara spontan mengarah kepada Utsman bin Affan. Ya, inilah nama yang paling terkenal/ familiar di kalangan ummat Islam ihwal sosok Sahabat dengan kriteria kekayaan dan kedermawanannya, meski sebenarnya Sahabat yang kaya raya dan dermawan tidak hanya Utsman.

Kekayaan dan kedermawanan Utsman banyak sekali ditulis dalam literatur sejarah Islam. Misalnya, heroisme Utsman pada persiapan menyambut Perang Tabuk. Sang Khalifah ketiga umat ini mendonasikan harta kekayaannya untuk keperluan logistik pasukan perang kaum muslimin. Yaitu dengan menyumbangkan 950 ekor unta dan 50 ekor Kuda, belum lag ditambah dengan uang tunai yang lebih kurang berjumlah 1.000 dinar.

Jika dengan kurs saat ini, harga unta itu sekitar 20,5 juta rupiah per ekor dikali 950 ekor. Sedangkan harga kuda perang sekitar 1,4 miliar rupiah, atau bisa lebih tinggi lagi, dikali 50 ekor. Sedangkan 1.000 dinar setara dengan 47 juta 750 ribu rupiah. Maka, jika diakumulasikan total donasi Utsman untuk keperluan logistik Perang Tabuk ini senilai hampir 89,5 miliar rupiah!

Diukur dengan situasi saat ini, angka tersebut sangat besar. Apalagi jika diukur dengan situasi pada zaman Nabi. Namun, berapa pun angka dan hitung-hitungan duniawi, tidak pernah bernilai besar kalau diukur dengan takaran iman dan tujuan hidup sejati: akhirat yang abadi. Maka, bagi seorang Utsman, mengeluarkan harta dengan angka demikian bukanlah perkara berat.

Tidak hanya kala menghadapi Perang Tabuk, Utsman tak segan berjihad dengan harta kekayaannya setiap saat. Pernah suatu ketika, yakni di era kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq, wilayah Hijaz dilanda kelaparan yang dipicu oleh gagal panennya ladang gandum masyarakatnya.

Guna mengatasi musibah krisis pangan ini, Utsman pun segera mengirim sumbangan 500 ton gandum, yang ia diangkut dengan 1.000 ekor unta, yang diperuntukkan untuk warga Hijaz yang membutuhkan bantuan.

Kekayaan Sahabat Nabi yang dikenal pemalu ini, yang bahkan malaikat pun malu terhadap dirinya, sangat besar karena memang dia berasal dari keluarga saudagar kaya. Kaya lagi terpandang, yaitu Bani Umayyah, yang dikenal sangat mapan secara ekonomi. Mewarisi darah saudagar tersebut, Utsman bisa menjadi seorang pengusaha besar dengan aset properti berupa tanah yang membentang dari wilayah Arish di Mesir hingga Khaibar di Jazirah Arab.

Dalam kitab al-Bidayah wan Nihayah disebut bahwa total kekayaan Utsman sebesar 2.532.942.750.000. Atau 2 triliun 532 miliar 942 juta 750 ribu rupiah.

Hebatnya, angka tersebut bukanlah angka statis, uang fisik yang tidak berkembang. Angka tersebut ternyata nilai aset ketika dia meninggal dunia.

Utsman juga mewariskan uang sebesar 151 ribu dinar dan 1.000 dirham. Adapun 1 dinar setara 4,25 gram emas dan 1 dirham setara 3,11 gram perak. Dia meninggalkan pula kuda-kuda terbaik sejumlah lebih dari 1.000 ekor.

Salah satu pelajaran yang dapat dipetik dari pribai Utsman adalah semangatnya dalam mewakafkan harta untuk kepentingan orang banyak. Sahabat Nabi pemilik gelar Dzun Nurain—pemilik dua cahaya—sebab menikahi dua putri Rasulullah secara berturut-turut, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kaltsum, merupakan satu-satunya orang yang memiliki rekening dan aset tanah yang masih tercatat di departemen tata kota Madinah saat ini.

Bahkan, rekeningnya atas nama Utsman bin Affan itu, saldonya terus melejit hingga sekarang. Harta Sahabat yang mulia ini berada di bawah pengelolaan Kementerian Wakaf Pemerintah Arab Saudi.

Dari mana asal-muasal rekening itu? Kita tentu ingat kisah Utsman yang membeli sebuah sumur atau mata air dari seorang Yahudi tatkala wilayah Jazirah Arab dilanda masa paceklik. Kekeringan panjang.

Kala itu, masyarakat kesulitan air. Dan, satu-satunya sumber air adalah sumur yang dikuasai seorang Yahudi dan airnya diperjualbelikan secara monopoli. Tidak ada yang boleh menguasainya selain dia. Masyarakat pun yang telah merasa kehidupannya berat karena kekeringan semakin sulit lagi karena harus pula membeli air.

Oleh karena itu, Utsman berinisiatif membeli sumur tersebut. Awalnya ditolak oleh si Yahudi sebab dia berpikir akan kehilangan sumber pencarian uang kalau sumur itu dijual kepada Utsman.

Tetapi, Utsman tak hilang akal. Utsman bernegosiasi dengan orang Yahudi itu dengan menawarkan pembelian separuh sumur. Maksudnya, membeli setengah dari hak pengelolaan sumur, dengan teknis hak pengelolaan satu hari-satu hari. Artinya, Utsman dan Yahudi itu memiliki hak secara bergantian, selang sehari saja.

Yahudi itu pun berpikir bahwa dia akan memperoleh keuntungan ganda: uang hasil penjualan separuh sumur yang dipatok dengan harga mahal dari Utsman, lalu dia masih memiliki hak pengelolaan sumur tersebut.

Cerdasnya Utsman, tatkala hari hak pengelolaannya tiba, dia segera mempersilakan semua orang, terutama fakir miskin, dari kalangan mana saja, tidak memandang dia muslim atau non-muslim, guna mengambil air sesuai kebutuhannya. Tidak dipungut biaya sepeserpun, gratis.

Cerdiknya lagi, Utsman menghimbau mereka untuk mengambil air untuk keperluan selama dua hari. Dengan begitu, keesokan harinya mereka tidak perlu membeli air kepada Yahudi itu.

Walhasil si Yahudi baru menyadari keadaan dirinya. Dia memiliki hak separuh sumur namun tak ada seorangpun yang datang lagi untuk membeli air kepadanya. Tak ada pilihan lain, seiring berjalannya waktu, dia terpaksa menawarkan kepemilikan separuh sumurnya itu kepada Utsman, agar dibeli secara penuh. Tanpa berpikir panjang Utsman segera melunasinya. Total, sumur tersebut dibeli Utsman senilai 38.000 dirham. Kemudian diwakafkannya sumur itu demi kepentingan orang banyak.

Sumur tersebut terus dirawat, sampai-sampai lahan di sekitarnya menjadi subur dengan pepohonan kurma yang ditanam. Pengelolaan berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi, dari suatu kepemimpinan ke kepemimpinan berikutnya. Terus saja demikian hingga era pemerintahan Daulah Utsmaniyah (Turki Utsmani), dan hingga pemerintahan Kerajaan Arab Saudi sekarang.

Hasil sumur dan perkebunan kurma di atas disimpan ke dalam rekening di salah satu bank di Arab Saudi. Lalu dengan dana rekening itu, berdirilah hotel bintang lima di dekat Masjid Nabawi, yang diberi nama Hotel Utsman bin Affan.

Hotel ini menghasilkan pendapatan 150 miliar rupiah tiap tahun. Pendapatan sebesar itu dikembalikin ke rekening Utsman dan diperuntukkan untuk mendanai
amal sosial ataupun misi kemanusiaan.

Perkebunan kurma yang berada di atas lahan milik Utsman dikelola oleh Kementerian Pertanian Arab Saudi.

Separuh dari hasil perkebunan ini diserahkan kepada anak yatim dan fakir miskin, sedang separuh lagi dimasukkan ke rekening Utsman sebagai dana abadi umat.

Demikian sedikit kisah kedermawanan Sahabat yang agung ini. Apa yang seharusnya menjadi perhatian utama dari kiprah Utsman bin Affan bukanlah pada angka kekayaannya yang fantastis, melainkan pada kedahsyatan spirit berwakaf Utsman bin Affan.

Besar kemungkinan pada masa lalu Utsman tak pernah berpikir bahwa sumur yang dia wakafkan akan berdampak sosial sebesar saat ini. Betapa banyak orang, dari generasi ke generasi, yang merasakan manfaatnya.

Pasalnya, bagi Utsman, keuntungan terbesar adalah manakala seluruh kebermanfaatan itu membuahkan kebaikan yang banyak, yang tetap mengalir kembali kepadanya meski telah tiada. Yakni memenuhi pundi-pundi pahala baginya di akhirat. Masya Allah!

Cerita kedermawanan sahabat Nabi Utsman bin Affan diatas dikutip dari buku Muslim Preneur yang ditulis oleh ustadz Nurdin Apud Sarbini dan diterbitkan oleh penerbit Pustaka Imam Syafii.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *